Iklan

Iklan

,

Iklan

Luka Sejarah yang Terlupakan: Runtuhnya Kesultanan Melayu di Sumatera

xtrens
17 Sep 2025, 13:30 WIB Last Updated 2025-09-25T07:17:57Z

 

Foto Mahasiswa Melayu Batu Bara yang sedang Study di Ingris tahun 1923Foto Mahasiswa Melayu Batu Bara yang sedang Study di Ingris tahun 1923


XTRENS.com — Kisah hilangnya Kesultanan Melayu di Sumatera pada awal kemerdekaan adalah luka sejarah yang dalam bagi masyarakat Melayu, khususnya di Sumatera Timur.


Pada 3 Maret 1946, pecah Revolusi Sosial yang melibatkan laskar buruh berideologi kiri yang menyerang istana-istana Melayu di Deli, Langkat, Serdang, Asahan, dan daerah sekitar. Serangan ini berujung pada runtuhnya kesultanan yang telah bertahan selama ratusan tahun.


Rakyat, terutama kelompok laskar buruh, melakukan pembantaian terhadap keluarga sultan dan bangsawan.


Sultan Langkat, Sultan Deli, Sultan Asahan, dan Sultan Serdang serta banyak bangsawan lainnya menjadi korban kekejaman, ada yang ditangkap, dibunuh, bahkan disiksa secara tragis. Istana-istana dirampas dan kekayaan mereka diambil secara paksa.


Banyak anggota keluarga kerajaan, termasuk wanita dan anak-anak, menjadi korban atau terusir dari wilayah mereka. Beberapa berhasil melarikan diri ke Malaysia atau daerah lain, namun kejayaan kesultanan tersebut hilang selamanya.


Ratusan bangsawan Melayu tewas baik secara langsung di depan rakyat maupun dalam perlakuan yang tidak manusiawi.


Kesultanan Langkat runtuh total setelah Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmadsyah ditangkap, dianiaya, dan dibunuh.


Keluarga bangsawan Langkat juga banyak yang menjadi korban pembantaian, dan istana bersama harta kekayaan dirampas oleh rakyat atau negara. Nasib tragis ini menjadi simbol runtuhnya kekuasaan lama.


Kesultanan Deli yang semula dipimpin Sultan Osman Al Sani Perkasa Alam Shah juga mengalami nasib suram.


Meski Sultan dan keluarganya lolos dari pembunuhan massal, mereka kehilangan hampir seluruh kekuasaan politik dan ekonomi, sementara banyak bangsawan Deli lain menjadi korban kekerasan.


Di Kesultanan Asahan, Sultan Shaibun Abdul Jalil Rahmadsyah bersama keluarganya ditangkap dan kemudian dibunuh, serta istana dihancurkan.


Begitu pula Kesultanan Serdang, di mana Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah sempat menyelamatkan diri, tetapi kekuasaan serta pengaruh kerajaan berakhir karena pembantaian bangsawan.


Tak hanya kesultanan besar, Kedatukan-kedatukan lain seperti di Batubara dan Yang Dipertuan Panai,Bilah,Kualoh dan Kotapinang juga mengalami penderitaan serupa, genderasi emas nya pupus, dan di anggap menjadi wilayah tak bertuan dan tak berbudaya di awal tahun 1950an.


Istana diserang, keluarga bangsawan,ilmuan dan birokrat dibunuh atau terusir, serta banyak warisan budaya seperti arsip, manuskrip, dan pusaka hilang atau musnah. Kesultanan Melayu pun kehilangan kekuasaan politik sepenuhnya.


Sayangnya, tragedi kelam ini terhapus dari narasi resmi sejarah nasional Indonesia yang lebih menitikberatkan pada perjuangan melawan penjajah Belanda.


Kisah penderitaan Zuriat kesultanan dan kedatukan dianggap sebagai “konflik internal” sehingga minim sekali diketahui generasi muda Melayu. yang kini lebih mengenal tokoh-tokoh republik pusat yang sering lalu lalang dipermberitaan kaum kekinian daripada sultan-sultan dan para Datuk Melayu yang pernah berjaya hingga membawa nama Sumatera Timur ke kancah Dunia.


(R Ramadhan)

Iklan