Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, resmi bebas bersyarat setelah menjalani hukuman di Lapas Sukamiskin terkait kasus korupsi proyek e-KTP dengan kerugian negara mencapai Rp2,3 triliun.

Kebebasan ini diperoleh setelah ia menyelesaikan lebih dari dua pertiga masa pidana, termasuk masa yang berkurang karena remisi dan Peninjauan Kembali (PK) yang dikabulkan Mahkamah Agung.

Selain faktor administratif, pembebasan Setnov disebut dipengaruhi kontribusinya selama menjalani pembinaan di lapas.

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) menyebut, Setnov aktif menginisiasi program klinik hukum di dalam lapas.

Program tersebut menjadi wadah edukasi hukum bagi warga binaan yang membutuhkan bimbingan maupun nasihat terkait masalah hukum.

Ia juga ikut terlibat dalam kegiatan pembinaan spiritual, olahraga, hingga program kemandirian seperti pertanian dan perkebunan.

Menurut Ditjenpas, peran aktif ini menjadi nilai tambah yang membuat Setnov dianggap berkontribusi positif bagi lingkungan lapas.

Namun, rekam jejak Setnov tidak lepas dari sorotan publik.

Ia pernah dipergoki berada di Restoran Padang saat izin berobat di RSAD Gatot Soebroto pada 2019, yang kala itu menimbulkan pertanyaan publik soal pengawasan narapidana kasus korupsi.

Pihak KPK hingga Ditjenpas kemudian memastikan keberadaannya sesuai prosedur dan berdasarkan rujukan medis.

Meski kini menghirup udara bebas bersyarat, Setnov tetap memiliki kewajiban menjalani masa pengawasan serta mematuhi aturan yang berlaku.

Kasusnya masih menjadi catatan hitam dalam sejarah korupsi besar di Indonesia, sekaligus menjadi pengingat atas pentingnya transparansi dalam penegakan hukum.

Iklan


 

Iklan Bawah