Bahasa Melayu, Bahasa Dunia


SUMUT, XTRENS.com — Ketika Melayu semakin maju akan perdagangan internasional pada abad ke-15 hingga abad ke-17, bahasa Melayu telah duduk menjadi lingua franca. Penggunaannya sebagai perantara perdagangan bahkan meluas hingga Kamboja, Vietnam, Australia dan Filipina. Saat itu, bahasa Melayu tak lagi hanya menyerap unsur bahasa asing, tapi mulai memengaruhi pula bahasa lokal di Asia Tenggara dan dunia.

Pelaut-pelaut dari Eropa yang mulai hilir mudik di Nusantara pun diwajibkan harus menguasai bahasa Melayu untuk memperlancar komunikasi mereka dengan pedagang Nusantara.

Sebagai misal patut disebut nama Antonio Pigafetta, seorang anggota ekspedisi keliling dunia Ferdinand Magellan. Ia membuat semacam kamus bahasa Melayu dan menjadi acuan wajib bagi para pelaut dunia bertajuk Vocabuli de Questi populi mori pada 1522.

“Dalam periode inilah ratusan kata-kata Melayu di dunia perdagangan, teknologi, dan bidang-bidang lainnya masuk ke dalam bahasa Tagalog; pusat-pusat niaga utama di Kamboja lantas dikenal dari kosakata Melayu sebagai kampong; dan orang Vietnam menerima kata-kata seperti cu-lao (dari kata Melayu pulau).

Begitu juga kata-kata Melayu seperti amok, gudang, perahu, dan keris didapati orang Eropa di Pegu, bahkan di Pantai Malabar di India, seolah-olah semua itu merupakan kata-kata asli setempat," tulis Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid I (2014, hlm. 10).

Usaha seperti ini lantas diikuti oleh pelaut Belanda yang datang kemudian. Pertengahan abad ke-17, sejumlah pelancong Belanda mulai membuat sendiri kamusnya, seperti Frederick de Houtman (1608) atau Casper Wiltens dan Sebastianus Dancakerst (1623).

“Setidak-tidaknya mereka yang berniaga dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan utama harus wajib menggunakan bahasa Melayu sebaik menggunakan bahasa mereka sendiri," tulis Reid (hlm. 10).

Luasnya penggunaan bahasa Melayu di era Kurun Niaga itu tak lepas dari sifatnya yang luwes. Pada abad ke-17, bahasa Melayu telah berkembang menjadi bermacam dialek dan digunakan oleh banyak etnis di lingkup Laut Melayu.

Meski yang lazim disebut sebagai pusat budaya adalah Malaka, namun penutur Melayu di sana mengakui validitas dialek Melayu dari tempat lain. Juga saat Kesultanan Aceh naik pamor, dialek Melayu-Aceh menjadi varian bahasa yang prestisius di Dunia Melayu.

“Variasi bahasa Melayu menunjukkan keberagaman kelompok etnik yang menjadikan bahasa ini sebagai basis identitas mereka. Namun demikian, pada abad ke-19 muncul perubahan sikap terkait penggunaan bahasa," tulis Andaya (hlm. xxviii).

Perubahan yang disebut Andaya itu berkaitan dengan Traktat London yang disepakati Kerajaan Inggris dan Belanda pada 1824. Berdasarkan traktat ini, Belanda diakui menguasai kepulauan Indonesia sementara Inggris memerintah kawasan Semenanjung Malaya dan Singapura. Pemisahan ini secara tak langsung ikut memengaruhi perkembangan bahasa Melayu di kawasan Selat Malaka.

Sejak saat itu, dua pusat kebudayaan Melayu yaitu Kerajaan Riau-Lingga dan Kerajaan Johor berkembang sendiri-sendiri. Bahasa dan kesusastraan Melayu Riau berkembang pesat dan kemudian dikenal sebagai bahasa Melayu Tinggi. Pada abad ke-20 varian ini menjadi induk bahasa Indonesia.




(R Ramadhan) 

Iklan


 

Iklan Bawah